Kamis, 20 Januari 2011

Sendok Garpu


Egoisme dan gengsi, identik tapi berbeda. Identik karena sama – sama mengatasnamakan “aku”. Jika ingin menilik tentang egoisme dan gengsi mungkin perlu juga mengetahui filosofi dari sendok dan garpu.

Sendok dan garpu, dua kawan yang jika berdua menjadikan makanan dalam piring cepat berpindah tanpa merepotkan tuannya. Namun jika sendiri, ia pun tak kalah garangnya. Sendok dengan cekungannya mengambil semua makanan tanpa ada yang tertumpah. Garpu, dengan eratnya menusuk sampai tak berkelit lagi. Itu berarti, jika berdua, kekompakan menjadi satu pengikat yang membuat semua masalah menjadi teratasi, namun jika harus sendiri tidak membuat ia kehilangan jati dirinya

Sendok garpu, jika beradu, suaranya yang nyaring, sampai memekakkan telinga tak membuat piring menjadi pecah, tetapi menimbulkan alunan nada yang indah. Itu berarti, sebesar apapun tantangan hidup, tidak akan membuat kapal menjadi pecah, namun menjadi pengindah laju kapal.

Sendok garpu, erat sekali hubungannya dengan makanan dan mulut. Itu berarti dari setiap apa yang kita masukkan ke dalam mulut harusnya dijaga, karena hampir semua penyakit berasal dari mulut.

Sendok garpu, mmm……pasti ada lawannya, makanan. Tangan kanan untuk sendok dan tangan kiri untuk garpu. Satu menyajikan, yang lain menyantap.


Karenanya kupilih ini, bersama doa kalian saat aku memasuki rumah baru……..
Selengkapnya...

Sabtu, 15 Januari 2011

Bismillah

Banyak orang menulis resolusi di awal tahun. Meski sudah agak telat, tapi nggak apa-apa deh….

Dulu, 1 tahun yang lalu, pernah aku tulis keinginanku untuk 3 tahun ke depan. Jadi, sekarang menginjak tahun ke 2 dari keinginanku. Biar lebih semangat saja, ingin ku tulis lagi. Semoga harapan ini membumbung tinggi bersama doaku, Agar Engkau mengabulkannya…amin.

 InsyaAllah, di tahun ini aku ingin :
  1. Menyempurnakan separuh dari agamaku, menikah.
  2. Hafal juz amma
  3. Menjadi guru ngaji
Selengkapnya...

Selasa, 11 Januari 2011

Lisanmu di Balik Hatimu



Lisanmu di balik hatimu, atau hatimu di ujung lisanmu. Kata-kata yang mengisyaratkan banyak makna.

Kawan, mana yang seringkali kita lakukan. Lisan yang tertahan di balik kalbu yang bersih. Atau hati yang terbolak balik mengikuti lidah yang tak bertulang.
Sepekan kemarin, bertukar pikiran dengan para bunda anak didik. Wow…ternyata 90% persen cara berbicara dan gaya bicara anak-anak itu meniru dari ibunya. Ada anak yang bicaranya pelan, ee… ternyata ibunya juga bicaranya pelan. Ada yang jedar jeder, ibunya juga gitu. Bahkan ada yang putrinya selalu bilang “mm, apa ya…”, ibunya juga lho…..


Benar ternyata ya, bahasa yang paling dikenal oleh anak adalah bahasa ibu.
Jadi, kalau ingin putra putrinya bicaranya halus, sopan, .....ya semua itu berawal dari menjaga lisan di balik hati.

Ha..ha….ha….

Susah atau mudah ya?

Praktek terkadang tidak seperti teorinya. Adikku, sobatku mengatakan kalau aku ini orangnya jedar jeder, “bloko sutho” jarene wong jowo. He..he…he…maaf ya, kalau pernah tersakiti dengan ucapanku. Lalu aku menjawab, “mm, apa yang aku katakan ya itu yang ada di hatiku”

Menurutku (lagi-lagi teori menurut diri sendiri), lebih baik mengatakan apa adanya. Kalau baik ya bilang baik, kalau jelek ya bilang jelek. Kalau kita bilang “Iya”, hati kita juga harus 100% iya, kalau nggak ya nggak.

Lalu adikku menimpali “ya jaga perasaan lah” He…he…he…., iya kali ya.

Tapi, lebih memilih yang mana hayo???

Orang yang berkata manis, tetapi dibelakang menggunjing atau yang langsung berbicara, walau akhirnya menemukan perbedaan. Terkadang kenyataan kan tidak semanis harapan. Bagiku, yang penting kalau itu menyangkut prinsip dan kebenaran ya harus diungkap, kalau cuman sepele ya jadi angin aja.

Mm, tapi kayaknya memang harus lebih lembut lagi yaa…jadi ingat dengan perintah sang pemberi hidup :

“ Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Selengkapnya...

Sabtu, 01 Januari 2011

Awalnya

“Aku harus banyak bersyukur karena bertemu kamu” kata manis darinya, membuatku ingin menulis bagaimana awalnya kami bertemu.

Saat itu, rasanya malas sekali berkenalan dengan seseorang. Apalagi orang yang ditunggu tidak segera memberi respon dan seorang yang lain, yang juga hasil rekomendasi teman tidak mendapat angin dari ayah bunda. Malas sekali merespon tawaran dari kakak tercinta yang ada di kota terpadat Indonesia

Usia. Mungkin itu yang membuat mereka yang ada di sekitarku menjadi semangat untuk memperkenalkanku dengan seseorang yang menjadi pilihan baginya dan baik tentunya. Mungkin iya, alasan itu menjadi salah satu alasan bagiku untuk juga berusaha. “Ikhtiar” kata kerennya. Walau bukan itu satu-satunya alasan, tetapi lebih pada karena aku membutuhkan salah satu dari mereka. Ya, karena aku perempuan yang membutuhkan cinta dan perhatian. “Hufh….


“Lia, aku kenalkan kamu dengan seseorang, dia temanku saat SMP. Kalau dia meminta pertemanan denganmu melalui Facebook, terimalah” pesan kakak yang baru saja menelponku. Huh…..males, respon pertamaku. Kemudian, mulai membuka PC dan mencari tahu. Ha..ha…ha…, wah nggaaak ah…….He..he…he….

Beberapa hari kemudian datanglah SMS, “lho kok nggak direspon sih, YA……”

Iyaa……., tanpa berpikir lagi, langsung buka PC, buka Fb, add…..

Saat online, beberapa kali bertemu dia. Eh tiba-tiba kakak online juga “ Ya, areke OL, sapa-en”

“Ya ampun…….., gak mungkin lagi, gengsi aku nyapa duluan……!!!!!”

 “halo,…….” Akhirnya dia menyapa. Ha..ha…ha…., obrolan-obrolan ringanpun berlanjut, sampai ia menanyakan berapa nomor telponku. Pembicaraanpun berlanjut, SMS, telpon, eh….boleh main ke rumah????

“………” aku berkelit kesana kemari. Ha..ha…ha…., cari-cari alasan. Seribu, duaribu alasan…he…he..he…

Lagi-lagi, “Ya, kok nggak boleh maen ke rumah kenapa?, SMS nggak dibales, telpon nggak di angkat” Kakak protes lagi.

Dueng……dueng….dueng !!!!!....Hih…nih anak ya……, nggak bisa ta nggak usah ngomong ke kakak, pakek lobi-lobi tingkat tinggi pula…….. Langsung ku kirim pesan singkat, iya…iya boleh, ini alamatnya….habis situ lobi-lobi tingkat tinggi sih…….

Pertemuan pertama, kedua, ketiga…..Kami berbicara banyak hal. Bergaya bak reserse, eh dianya nggak marah lho…..

Sekarang sepuluh bulan kira-kira aku sudah mengenalnya. Rasanya belum semua aku tahu. Aku masih ingin terus mengenalnya, bersama dengannya, tidak untuk bertanya ini itu lagi, tetapi untuk merasakan. Sebesar apa dia menyayangiku, sebesar itu pula rasa sayangku padanya. Waktu yang bergulir sekarang menjadi lambat, biasa, dan cepat seiring dengan perjalanan kami melewati permadani merah. Dia, yang Allah hadirkan di sampingku, yang membuat aku juga berkata “Terima kasih, aku sangat bersyukur bertemu denganmu”.
Selengkapnya...