Sabtu, 11 September 2010

DIANGGAP BIASA TETAPI LUAR BIASA


Belajar bisa dari mana saja. Kita bisa belajar dari buku, dari orang-orang tercinta disekitar kita atau bahkan dari orang-orang yang memandang sebelah mata kepada kita, bisa dari pengalaman yang kita atau orang lain alami, dari fenomena, ujian atau anugrah yang Allah berikan, dan dari makhluk hidup ciptaan Allah. Belajar tidak perlu tergesa-gesa, tidak perlu menjadi harus sesuai target, atau malu mengulang pelajaran yang sebenarnya kita sadari kita belum memahaminya.

Ada satu kisah menarik dari perjalanan hidup seorang anak, yang saya katakan sangat luar biasa. Sebut saja dia Hafizh. Hafizh, dengan kemampuan yang Allah berikan padanya, membuat dirinya sekarang menjadi luar biasa.


Hafizh adalah anak biasa, seperti anak-anak lainnya. Ia tumbuh di lingkungan yang pasti sangat menyayanginya. Ia belajar banyak hal, menyikapi banyak hal, mendengar banyak hal. Saat Hafizh duduk di kelas 5, banyak sekali yang memandang sebelah mata. Mungkin karena ia memiliki kemampuan akademik yang biasa saja, bahkan tidak terlalu tinggi. Banyak sekali sindiran-sindiran yang ia terima, kegagalan-kegagalan yang membuat dirinya menjadi kecil, lebih kecil lagi dan sangat kecil. Terhadap semua itu, orang mengira ini anak, nggak beres…..harus dibawa ke psikolog. Pihak psikolog meyakinkan kepada orang tua bahwa Hafizh memang tidak seperti anak biasa, ia mengidap ADHD.

Banyak usaha dilakukan agar si anak tidak terlihat tidak beres, mulai dari melakukan terapi obat, les privat, dan tekanan-tekanan. Alih-alih ingin menjadikannya menjadi minimal seperti anak yang lain, tetapi malah membuatnya menjadi semakin labil dan tertutup. Setiap pertanyaan yang dilontarkan, ia jawab “tidak tahu”. Apakah benar Hafizh tidak tahu, atau ia memilih jawaban yang aman. Karena tidak ada yang bisa disalahkan jika kita “tidak tahu”.

Kecilnya rasa percaya diri ditambah pula dengan sikap tertutup membuat benteng besar di dalam diri Hafizh. Benteng yang tidak terlihat dan tidak tertembus. Semua usaha yang dilakukan menjadi kurang berarti, akhirnya usaha difokuskan untuk menaikkan kemampuan akademiknya. Belum berhasil, usaha tersebut terlihat seperti “sia-sia”. Hafizh tidak memenuhi criteria untuk bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ia tinggal kelas.

Sungguh, perasaannya hancur. Dirinya menjadi semakin kecil, orang menjadi percaya bahwa Hafizh memang tidak seperti anak biasa. Mungkin sekolah biasa tidak cocok untuk Hafizh, dicarikannya sekolah inklusi. Sekolah yang membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk memaksimalkan potensinya.

Hafizh tidak terima, ia sangat tidak terima. Ia yakinkan kepada semua orang, “aku tidak seperti mereka” Ia berontak, ia ingin berteriak, atau menangis, tetapi sangat sulit. Lingkungan membuat ia bungkam atau menjadinya seolah-olah tidak bisa berteriak. Ia katakan dengan pelan, dengan memendam tangis, “aku tidak seperti itu, biarlah aku berada di sekolah yang lama, mengulang di kelas yang sama”.

Dua pilihan yang sangat sulit baginya. Lanjut di kelas 6 tetapi harus berada di sekolah inklusi ataukah tinggal di kelas yang sama, kelas tempat adik kandungnya belajar. Awal-awal menjadi sangat berat baginya. Pandangan sinis teman sekelasnya. Senyuman yang tidak simetris dari teman lamanya, anggapan orang yang semakin mengecilkan kemampuannya, bahkan yang mungkin membuat hatinya menjadi sakit adalah ungkapan yang hanya tergambar dari sikap adiknya, “kenapa aku harus sekelas dengan kakak”.

Hafizh masih saja tertutup, emosinya semakin memuncak, tubuhnya semakin dewasa seperti layaknya anak seusia dia, pikirannya pun berimajinasi. Ketika teman-teman menyinggung perasaannya, betapa menyeramkan wajah yang terbentuk, napas menjadi bisa dihitung, dan korbanpun berjatuhan. Tidak sedikit anak-anak yang terkena pukulannya, atau perabat yang menjadi tidak seperti semula. Ia semakin diasingkan, dan ia terasing. Ia merasa, perkembangan yang dia alami tidak dapat diimbangi oleh teman-teman sekelas, karena mereka “masih anak-anak”. Bila mendapat masalah selalu mengadu, membesar-besarkan masalah, atau bahkan menangis bila kalah. Sekali lagi ia ingin berteriak, tatapi sayang teriakannya berubah menjadi umpatan.

Hafizh terus berproses, bersama orang-orang yang mencintainya, orang tuanya. Ibunda menangkap fenomena ini, ia tidak ingin kecolongan lagi. Sang ibu menghadirkan seseorang yang sangat berjasa, seorang psikolog, yang tidak membawa beberapa pil penenang. Pil yang menenangkan pikiran atau menidurkan pikiran. Sang psikolog bernama Pak Budi. Pak Budi sangat sabar, ia memberikan banyak petuah untuk membangun rasa percaya diri anak, mengajak anak melakukan beberapa gerakan atau kegiatan untuk menahan emosi atau mengatasi emosi. Pak Budi tidak hanya melakukan terapi kepada Hafizh, tetapi juga pada ibunda tercinta. Sang ibu harus memiliki rasa percaya kepada Hafizh, tidak menjadi reaktif atas apa yang putra tercinta lakukan, tidak menuntut sesuatu yang sulit untuk dilakukan.. Pak Budi memang orang yang luas biasa. Banyak perubahan terjadi dalam diri Hafizh.

Melihat banyaknya perubahan itu, sang ibu tersadarkan bahwa sebenarnya hal yang terpenting saat ini adalah membangun kembali rasa percaya diri yang sudah tipis, membuang benteng yang sudah mengeras, menggali potensinya yang lain selain akademik, menyalurkan kelebihan energy sang putra, dan mengembalikan impian-impiannya untuk menyadarkan diri si anak dan orang lain, “Hei, Hafizh anak hebat”.

Si ibu memperkenalkan basseball, sebagai alternatif kegiatan untuk Hafizh dan kedua adiknya. Hafizh menaruh hati di Basseball. Kepercayaannya mulai muncul kembali. Ia memang anak dengan tipe kinestetika.

Di sekolah ia mulai menggeluti kegiatan yang berkaitan dengan fisik, futsal. Ia menjadi seorang kipper. Ia kipper yang handal. Teman-teman menjadi kagum. Mereka bilang, “Wah hebat, Hafizh seperti terbang”. Futsal menjadi salah satu kegiatan yang layak untuk diikuti dan dipertandingkan dengan sekolah lain.

Hafizh terus berkembang, ia membuktikan kepada yang lain bahwa ia bisa. Semua ini karena peran dari orang – orang terkasih di sekitarnya, termasuk adiknya. Nia, selalu menjadi layar bagi yang ibu untuk memonitor kakak. Demi kebaikan kakak, ia rela mengesampingkan egonya, walau itu sangat sulit dan melelahkan.

Nia menjadi air, ketika emosi Hafizh sudah di Ubun-ubun. Saat sang kakak marah, Nia melihatnya sambil berkata, “sabar, ingat mama”. Waktu bergulir emosi Hafizh menjadi sangat terkontrol. Ia tidak lagi labil, bahkan ketika teman-temannya menjadi sangat usil, hanya untuk melihat bagaimana Hafizh marah. Hafizh tidak pernah marah berlebihan, ia memendam dengan baik. Hafizh yang luar biasa.

Prestasi Hafizh terus terukir. Di Baseball, ia terpilih menjadi atlit tingkat Jawa timur. Yang dikirim bersama timnya untuk menunjukkan kemampuannya, mengharumkan namanya, nama klubnya, nama sekolahnya dan provinsi tempatnya tinggalnya. Sungguh luar biasa, prestasi di akademikpun terkena imbasnya, ia menjadi anak yang tidak kalah dengan yang lain, walau tidak menjadi nomor satu. Ia membuktikan kepada siapapun, bahwa ia bisa menjadi yang terbaik. Ketika teman-temannya memperebutkan satu kursi di jenjang pendidikan setelah sekolah dasar, yang terpaforit sekalipun, ia memiliki tiket untuk itu. Melalui jalur yang tidak sembarangan anak bisa melaluinya. JALUR PRESTASI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar