Rabu, 22 September 2010

Ketika Engkau Bercerita

Saat kita masih kecil, ibu mengajarkan banyak kata kepada kita. Mungkin “ibu” atau “mama” atau “bunda” adalah kata pertama yang diajarkan pada buah hatinya. Berulang-ulang, kemudian beralih pada kata yang lain “ayah”,”bapak”,“papa”. Berulang-ulang hingga si buah hati berceloteh sendiri. Mereka dengarkan itu, walaupun terkadang ayah dan ibu kita tak paham dengan apa yang kita maksud.

“oh, anakku sudah pandai bercerita” kata si ibu. Sampai kita menjadi remaja yang membawa banyak cerita saat kita berpetualang di luar rumah. Ibu menjadi “ember sejati” bagi curahan kata dan letupan emosi kita. Kita ceritakan semua hal yang sering membuat ibu tersenyum geli, tertawa, mungkin juga sedih atau bahkan marah karena kita telah melakukan sesuatu yang dilarangnya. Luar biasa, ibu tak pernah bosan mendengar, telinga itu menjadi luar biasa.


Kini saat kita telah dewasa, sibuk sekali pastinya ya… Mengejar “dead line” dari pekerjaan yang menjadi tanggungan kita, mendandani tubuh agar “good looking”, bercerita sambil “kongkow-kongkow” dengan karib, bahkan bersitegang hingga urat mata dan leher tertarik semua.

Saat satu atau beberapa hal tersebut bersamaan dengan ibu yang ingin bercerita kepada kita, mana yang kita pilih ?

Mendengarkan cerita ibu yang mungkin “ugh, gak penting banget” atau “aduh, cerita ini lagi, ini kan sudah pernah diceritakan” atau bahkan “Ih….cukup, iya…iya…aku tahu jangan ceramahi aku terus dengan ini…itu….ini…itu….”.

Atau memilih ini “ ibu, nanti dulu ya ceritanya, aku lagi sibuk pekerjaanku banyak sekali !”, atau yang ini “Eh, ntar ya bu, aku ditunggu teman, see you…..” atau bahkan “mmm, males aku…(sambil memalingkan wajah memandang hal lain).

Sekali lagi ketika kita harus menyelesaikan urusan kita dan mendengarkan ibu, mana yang kita pilih?

Urusan kita atau Ibu ?

Ibu atau urusan kita ?


Seringkali ketika ibu bercerita, cerita tersebut menjadi masalah yang sebenarnya sangat tidak penting untuk kita. Atau mungkin yang ibu ceritakan adalah cerita yang 5 jam lalu telah beliau ceritakan, dan beliau ceritakan lagi dan lagi dan lagi dengan intonasi dan ekspresi yang sama. Atau mungkin, ibu memarahi kita dengan sangat kesal (yang sering kita katakan cerewet) tentang suatu kesalahan yang pernah kita lakukan beberapa waktu lalu dan kita sudah menyesalinya.

Kawan, mendengarkan orang lain bercerita memang tidak mudah. Mendengarkan menjadi sesuatu yang memakan energi terutama jika kita tidak ada hati untuk itu. Tetapi dengan mendengarkan kita tunjukkan cinta kasih dan perhatian kita.

Dalam surat Luqman ayat 14, Allah berfirman :

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”


Jika dulu ibu menjadi “ember” bagi kita, sekaranglah saatnya kita menjadi “telinga terbaik” bagi ibu sampai hari tuanya nanti, dan mempersembahkan hasil terbaik dari kedua belah tangan kita untuk membahagiakannya.

2 komentar:

  1. jadi kangen banget mama saya :(

    BalasHapus
  2. sori baru bisa kunjung lagi, btw memang benar kita kadang "malas" mendengarkan ortu, yg lebih parah malah kita lebih menuruti dan dengerin perintah atasan atau org lain :(

    BalasHapus